Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka (library research) yang menggunkan buku-buku dan literatur-literatur lainnya sebagai objek yang utama. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Timur tengah menjadi tujuan utama tempat studi Islam dikalangan Muslim. Dua daerah yang paling sering dijadikan tumpuan dalam menimba ilmu keIslaman adalah Haramain (Mekkah dan Madinah) dan Kairo. Posisi Haramain menjadi sangat dominan sejak abad ke-17 hingga 19 karena kaum Muslim memandangnya sebagai tempat yang memiliki nilai sakral lebih ketimbang daerah-daerah lain.
Dalam perkembangannya memang kajian Islam di Timur mengalami beberapa hambatan, seperti: (1) adanya kesenjangan antara ilmu keIslaman klasik dengan ke-Islaman baru yang memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer; (2) kurang banyaknya buku khusus wilayah filsafat dan epistemologi keilmuan („ulumuddin) sehingga kekeringan sumber keilmuan ke-Islaman; (3) pengetahuan dalam Islam tidak pernah mengizinkan berbagai bentuk pengetahuan dikembangkan secara bebas satu dengan yang lain; dan (4) hilangnya kemampuan ilmu menyinari akal dan jiwa manusia justru pada saat ilmu dan teknologi mencapai puncak kecanggihan.
Pada era kontemporer, kajian Islam di Indonesia terbentuk oleh dua tradisi yang berbeda, yakni tradisi yang berakar dari Timur Tengah dan tradisi yang dikembangkan oleh pusat-pusat pengkajian Islam di Barat. Masing-masing tradisi membawa pengaruh dan pendekatan berbeda, yang kelak membentuk corak pengkajian Islam di IAIN/UIN.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa motivasi dikirimnya mahasiswa untuk belajar Islam di Barat salah satunya adalah keinginan memperluas cakrawala intelektual para mahasiswa Ilmu Agama Islam serta memperkenalkan kepada mereka tradisi ilmu pengetahuan kritis Barat dalam bidang keahliannya. Kegiatan ini menjadi wahana untuk bertemunya antara orientasi belajar Islam ke isi (content) yang direpresentasikan oleh tradisi pendidikan Timur Tengah dan ke metodologi yang direpresentasikan oleh tradisi pendidikan Barat. UIN menjadi tempat pertemuan antara dua orientasi utama dalam pengkajian Islam; Middle Eastern academic tradition dan Western academic tradition (intellectual meeting pot). Pada waktu kemudian, hal ini dapat berpotensi membentuk sebuah tradisi pengkajian Islam yang khas di IAIN/UIN. Tradisi pengkajian Islam yang mampu mengakomodasi atau mempertimbangkan corak Islam Indonesia yang khas dan begitu kaya.
Perkembangan pemikiran Islam tradisional di Indonesia perspektif Nurcholish adalah sesuatu yang alami, sebab di dalam suatu komunitas masyarakat pasti memiliki keragaman pemikiran, budaya, bahasa, dan agama. Pluralitas pemikiran seperti ini menjadi sesuatu yang sulit dihindari dalam dinamika pemikiran keagamaan. Konsekwensinya akan memunculkan ketegangan-ketegangan dan bahkan konflik yang muncul mengiringi perkembangan pemikiran itu.
Ketegangan karena keragaman pemikiran akan muncul jika setiap kelompok selalu mempertahankan pemahaman agama yang eksklusif dan tidak melihat dan membuka diri dengan situasi dunia yang selalu berubah, berhadapan dengan tuntutan untuk melahirkan interpretasi baru yang sinkron dengan perkembangan. Meskipun demikian, kehadiran suatu gagasan keagamaan pada akhirnya sering memberi dasar bagi proses sosial, setelah terlebih dahulu gagasan itu teruji. Di Indonesia, ketegangan itu terlihat dari polarisasi visi yang dikedepankan kaum tradisional, modernis, dan fundamentalis.
Eksistensi kelompok tradisionalisme Islam ini pada esensinya merupakan sebuah khasanah kekayaan Islam yang bersifat eksklusif, sehingga bertahan pada tataran kesalehan ritual simbolik dan dianggap sebagai sesuatu yang paling benar. Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena secara sunatullah kelompok tradisional seperti ini eksis pada zamannya dan belum mampu serta belum bersedia untuk melakukan perubahan dalam bentuk modernisasi. Dengan demikian, kelompok Islam seperti ini kadangkala bersifat fanatik dan kaku, sehingga sulit menerima modernisasi.
Lahirnya istilah modernisme Islam merupakan gerakan pembaruan atas kemapanan aliran tradisional Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalammasyarakat, meskipun secara institusional muncul lebih belakangan. Aliran modernisme ini mendapat inspirasi dari gerakan purifikasi Muhammad Ibnu Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan Pan–Islamisme Jamaluddin al-Afqhani yang kemudian mendapat kerangka idiologis dan teologis dari muridnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rihda.
Nurcholish Madjid memandang bahwa gerakan pemikiran Islam modern diawali oleh gerakan revivalisme pada abad ke-18 dan 19, dan telah menunjukkan kekuatan yang luar biasa dalam menyerukan umat Islam untuk memberikan penalaran terhadap Islam, agar segera berkemas memajukan Islam dalam berbagai bidang, terutama dalam melakukan gerakan reformasi dalam bidang sosial dan moral. Gerakan ini memurnikan aqidah Islam dengan cara mengantarkan umat Islam pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin. Gerakan ini telah membangkitkan kelompok modernis Islam. Gerakan revivalisme ini sebagai pendobrak dari penyakit TBC (Taqlid, Bid’ah dan Churafat), yang berusaha memurnikan aqidah Islam, belummenyentuh pada ruh jihad dan dapat melahirkan tokoh-tokoh modernis seperti ; Jamaluddin al Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha. Mereka ini telah berhasil membangkitkan semangat jihad, rasionalitas seperti pada masa klasik yakni masa kejayaan Islam dengan melihat kemajuan yang dicapai oleh barat. Tipologi pemikiran Islam kontemporer dibuat oleh William Liddle dengan mengklasifikasikan tiga corak pemikiran Islam di Indonesia. Pertama adalah indigenist, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Islam bersifat universal, namun dalam prakteknya Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat. Gagasan tentang upaya pribumisasi Islam ‘atau ’kontekstualisasi doktrin Islammisalnya, merupakan upaya para intelektual muslim untuk mempertemukan Islamdengan budaya lokal. Kelompok ini juga berusaha untuk memparalelkan visi keislaman dengan visi kebangsaan secara objektif. Kedua adalah sosial reformis, yaitu gerakan pemikiran yang lebih menekankan pada aksi guna mengatasi berbagai ketimpangan sosial, termasuk ketertindasan masyarakat kelas bawah. Ketiga adalah universalisme, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Alquran dan hadits sudah sangat lengkap dan dapat langsung diterapkan pada masyarakat Islam seperti zaman Rasul.
Apabila diperhatikan motivasi-motivasi ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk turut berpartisipasi dalam debat sosial modernisasi, ada tiga pertimbangan yang perlu digarisbawahi: pertama, mengoreksi konsepsi-konsepsi rancu mengenai skop agama dilihat dari postulat-postulat Islam. Kedua, perbedaan antara Islam dan prilaku muslim, dan yang ketiga, sikap-sikap Islam terhadap ide-ide kemajuan serta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.
Kaitan dengan itu, meskipun perkembangan modernisasi telah menghantui masyarakat Islam umumnya, namun dengan penuh kesadaran yang mendalam beberapa tokoh modernis Islam memiliki kemampuan untuk merespon kemerosotan internal maupun untuk melawan modernisasi sebagai bagian dari emperisme Barat. Gerakan yang dilakukan oleh para modernis tersebut adalah menafsirkan kembali sumber-sumber Islam dengan paradigma filosofis guna mendapatkan jawaban yang upto date terhadap Islam yang menyangkut masa lalu dan relevansinya di era sekarang. Penekanan para modernis dalam meredifinisikan Islam sebagai agama yang dinamis, progresif dan rasional dan menghasilkan rasa kebanggaan, jati diri, dan keyakinan bahwa Islam relevan dengan kehidupan modern dengan cirinya yang sangat multicultural.
Basis modernis Islam umumnya eksis di perkotaan yang masyarakatnya cenderung lebih akomodatif dalam menerima gagasan-gagasan baru. Bidang garap pembaharuannya lebih terfokus pada segi kelembagaan, baik di bidang organisasi maupun pendidikan yang dikelola secara modern, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat secara konkret. Sikap keberagamaan massa Islam yang selama ini didominasi oleh praktek-praktek tradisional, dipandang bertentangan dengan Islam itu sendiri dan tidak mampu membentengi diri dari pengaruh budaya Barat. Untuk itu, ada ciri penting yang menjadi visi dasar modernisasi, yaitu usaha pemurnian Islam dengan cara memberantas segala yang berbau khurafat dan bid’ah, melepaskan diri dari ikatan mazhab, dan membuka kembali pintu ijtihad selebar-lebarnya dengan menggunakan intelektualitas yang kritis dalam menginterpretasi nash agar sesuai dengan perkembangan modern.
Sangat jelas bahwa visi yang dikedepankan kaum modernis berlawanan dengan apa yang selama ini dipertahankan kalangan tradisionalis. Adanya represi politik di atas, ditambah derasnya arus negatif akibat modernisasi, melahirkan kesadaran baru pada sejumlah aktivis Islam. Mereka ini adalah generasi yang mengalami krisis identitas dan mendambakan Islam sebagai kekuatan yang mampu memberikan penawar bagi kesejukan jiwa di tengah ketandusan modernitas. Semangat keberagamaan model demikian memunculkan pola baru yang disebut fundamentalisme.
Basis fundamentalisme Islam adalah kelompok menengah perkotaan dan umumnya mereka terdidik secara formal. Pelajar dan mahasiswa merupakan kelompok potensial ke arah fundamentalisme. Mereka jemu dengan berbagai jenis sains yang bebas nilai tetapi selamanya tidak pernah mampu menjawab persoalan- persoalan mendasar dalam hidup. Kalangan fundamentalisme menolak bentuk pemahaman agama yang terlalu rasional apalagi kontekstual, sebab bagi mereka yang demikian itu tidak memberi kepastian. Karenanya, mereka memahami teks-teks keagamaan secara rigid dan literal sebagai alternatif yang mereka tonjolkan.
Nurcholish mengatakan bahwa melalui slogannya untuk kembali kepada Alquran dan as-sunnah, menyebabkan penolakan atas warisan khazanah klasik Islam. Inilah yang mengakibatkan modernisme mengalami kekeringan intelektual sebagai akibat cara berpikir yang jump into conclusion. Sementara itu, fundamentalisme juga tidak cukup meyakinkan secara totalitas karena ia sebenarnya hanyalah bentuk keberagamaan yang relatif atas fenomena eksternal. Inilah yang mengakibatkan sangat rapuh dalamrumusan konsepsi dan kontruksi pemikirannya.
Dinamika pemikiran keislaman di Indonesia tidak berhenti sampai di situ. Seiring masa pembangunan orde baru dan era reformasi sekarang ini, muncul corak baru yang berupaya menutup kelemahan pola pemikiran sebelumnya. Corak pemikiran baru yang kini sedang dalam proses pembentukan dan pematangan itu sering di sebut dengan Neo– modernisme.
Perbincangan tentang masalah corak pemikiran baru (neo-modernisme Islam) merupakan dinamisasi pergolakan pemikiran Islam yang melahirkan aspek pemikiran yang lebih spesifik dan mendetail, seperti pemikiran di bidang teologi, filsafat, tasawuf, politik, ekonomi, sosiologi, budaya dan lingkungan. Bagi penulis, neo- moderrnisme bukanlah sebuah alternatif mutlak dalam memecahkan segala persoalan, tetapi hanyalah sebagai salah satu alternatif global dalam memenuhi dinamika pemikiran keislaman di Indonesia.
Perdebatan tentang hal baru neo-modernisme, dua aliran yang telah disebutkan memiliki tanggapan berbeda. Neo-modernisme skeptis menjawab bahwa setelah modernisme, yang ada hanyalah pluralisme radikal tanpa adanya makna atau kebenaran tunggal yang berperan sebagai pusat. Lebih dari itu, setiap gagasan tentang kebenaran atau makna absolut dianggap mustahil. Dengan demikian, neo-modernisme skeptis megarahkan pada situasi nihilisme. Sedangkan bagi neo-modernisme alfirmatif, pluralisme modern tidaklah serta-merta meniscayakan nihilisme dan penyangkalan atas gagasan tentang kebenaran. Sebaliknya, gairah pluralisme justru. membawa visi baru tentang kebenaran, yakni tidak lagi sebagai kebenaran (dengan K besar) yang menyandang peran pusat, melainkan kebenaran-kebenaran (dengan k kecil) yang bersifat lokal dan mini-naratif. Huston Smith dalam bukunya yang berjudul Beyond the Post Modern Mind, menilai relativisme pasca modern yang terjadi sesungguhnya merupakan puncak kritis pandangan dunia modern. Bagi Smith, manusia modern mengidap krisis karena ia telah melupakan dimensi ilahiah dalam dirinya. Manusia modern adalah sosok manusia promethan yang dalam mitologi Yunani secara congkak mengandalkan rasionalitasnya dan melepaskan diri dari ikatannya dengan kosmos. Rasionalitas modern telah mengalahkan eksternalisasi dan tercabut dari intelek (roh). Akibatnya, pengetahuan modern tidak lagi memiliki keterarahan pada the Being mutlak sebagaimana menjadi dambaan kebijaksanaan perinial yang ada dalam setiap agama, melainkan hanya bersifat instrumental. Karena sudah lama meninggalkan kebenaran yang terlupakan, manusia modern hidup dalam suasana hampa makna.
Untuk menanggulanginya, Smith menawarkan upaya menemukan kembali kebijakan pramodern, yakni perenialisme. Karateristik perennilaisme adalah metafisika yang mengakui realitas Ilahiah yang bersifat substansial bagi kehidupan psikologi yang beranggapan bahwa dalam jiwa terdapat partisipasi Ilahiah dan etika yang menempatkan pengetahuan final manusia terletak pada kebersatuan dengan being mutlak.
Berdasarkan uraian di atas, munculnya istilah post-modernisme baru sepuluh tahun terakhir. Term itu mulai menjadi wacana publik ketika banyak pakar mulai gusar atas pengaruh negatif modernisme yang dapat dirasakan dalam berbagai dimensi, baik dalam struktur sosial, maupun struktur keilmuan. Dari situlah muncul istilah sejenis, yaitu neo-modernisme, yakni suatu paham yang berusaha mendekonstruksi pemahaman yang sudah mapan sebelumnya. Secara sederhana neo- modernisme dapat diartikan dengan “pahara modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai merupakan sintesis, setidaknya upaya integrasi antara pola pemikiran tradisionalisme dengan modernisme.
Dalam studi Islam, istilah neo-modernisme diintrodusir oleh seorang tokoh pembaharuan Islam asal Pakistan yaitu Fazlur Rahman yang membagi perkembangan pembaharuan ke dalam empat modal gerakan, yaitu: Pertama, revivalis pramodernis, muncul pada abad ke XVIII dan ke XIX di Arabia, India dan Afrika, dengan ciri umum: (a) kepribadian degradasi moral umat Islam, (b) imbauan kembali pada Islam orisinal, (c) imbauan mengonyakan corak predetermis, dan (d) rekomendasi perlunya penggunaan kekuatan senjata bila mendesak. Kedua, upaya modernisme klasik dalammenciptakan kaitan yang baik antara pranata Barat dengan tradisi Islam adalah suatu prestasi besar. Pada umumnya kalangan ini bersikap skeptis terhadap hadis yang tidak ditopang oleh sikap kritis yang memadai, sehingga membuat gerakan ini menolak ortodoksi Islam. Ketiga, Revivalisme pasca modernisme atau neo-fundamentalisme yang kemunculannya merupakan reaksi dari gerakan sebelumnya. Kelompok ini gagal melanjutkan semangat modernisme klasik dan dalam mengembangkan metodologi untuk menegaskan posisinya, mereka juga berusaha membedakan Islam dengan Barat. Keempat, Neo-modernisme merupakan gerakan kritis yang hendak melawan kecenderungan neo-revivalis, juga menutup kekurangan modernisme klasik.
Posting Komentar