Korelasi Feminisme Eksistensialis Simone de Beauvior dengan Pemikiran filsafat
Eksistensialisme Sartre
Pendahuluan
lajurinfo.my.id/ Sejak dahulu, sudah banyak ahli dan pejuang feminisme yang berani memperjuangkan serta mengungkapkan pemikiran feminisme-nya dengan berbagai cara. Latar belakang persoalan bahasan feminisme ini sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor sejarah, sosial, dan budaya. Feminisme secara umum dapat diartikan sebagai gerakan dan ideologi yang bertujuan untuk mencapai kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Gerakan feminisme memiliki perkembangan yang dibagi menjadi tiga gelombang (Pranowo, 2013: 59-62).
1. Gelombang pertama : sejak tahun 1800-an berupa feminisme liberal, feminisme
radikal, feminisme psikoanalisis dan feminisme marxis/sosialis
2. Gelombang kedua : muncul pada tahun 1960-an: feminisme eksistensialis
3. Gelombang ketiga : feminisme postmodern, feminisme multicultural dan global,
feminisme ekofeminisme.
Pada artikel ini, akan dibahas terkait feminisme eksistensialis dan korelasinya dengan pemikiran filsafat eksistensialisme. Feminisme eksistensialis merupakan pemikiran dengan gagasan filosofis tentang eksistensi perempuan. Pemikiran feminisme eksistensialis dikemukakan oleh seorang tokoh filsafat dan feminisme Prancis yaitu Simone de Beauvior. Simone de Beauvior menuangkan gagasan filosofisnya dalam sebuah karya buku berjudul Le Deuxie sexe (The Second Sex). Simone de Beauvior merupakan anak perempuan tertua dari salah satu keluarga borjuis di Prancis. Ia dibesarkan bersama paham katolik sehingga Ibunya mengirimkan Simone ke sekolah biarawati (Hareford, 2019). Pada usia 14 tahun Simone de Beauvior mengalami krisis iman dan menjadi seorang ateis. Hal inilah yang mengantarkan Simone untuk fokus mempelajari sastra dan filsafat. Kemudian Simone de Beauvior menempuh pendidikan di Soebonne pada tahun 1926. Ia juga mengikuti kursus di Ecole Normale Superieure untuk persiapan ujian agregasi filsafat. Di sanalah ia bertemu dengan Sartre (Prameswari: 4).
Pembahasan
Hubungan Simone de Beauvior dengan Jean Paul Sartre
Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre memiliki hubungan yang begitu erat, baik secara personal maupun intelektual mereka. Berikut adalah beberapa aspek penting dari hubungan Simone dengan Sartre:
1. Pertemuan dan Awal Hubungan
Pertemuan: Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre pertama kali bertemu pada tahun 1929 di École Normale Supérieure di Paris, di mana keduanya sedang mempersiapkan ujian agregasi dalam filsafat. Mereka segera mengembangkan hubungan intelektual yang mendalam
dan saling bertukar kecerdasan serta pandangan satu sama lain.
Hubungan Romantis dan Intelektual: Simone dan Sartre memutuskan untuk menjalin hubungan romantis yang tidak konvensional, di mana mereka sepakat untuk tidak menikah dan memberikan kebebasan satu sama lain untuk terlibat dalam hubungan lain, baik intelektual maupun seksual. Mereka menyebut hubungan ini sebagai "persatuan yang diperlukan" yang akan melampaui hubungan lain yang mereka sebut "kontingensi".
2. Kolaborasi Intelektual
Pemikiran yang saling mempengaruhi : Simone dan Sartre saling mempengaruhi dalam karya-karya mereka. Sartre membantu mempopulerkan eksistensialisme dengan karya-karya seperti "Being and Nothingness" (1943), sementara Simone mengembangkan perspektif eksistensialisnya sendiri, yang diterapkan pada isu-isu gender dan feminisme, paling terkenal dalam "Le Deuxième Sexe" (1949).
Diskusi dan Debat: Mereka sering berdiskusi dan berdebat tentang berbagai isu filosofis, sosial, dan politik, yang memperkaya pemikiran masing-masing. Hubungan intelektual mereka sangat produktif dan saling mendukung, meskipun mereka tetap mempertahankan kemandirian intelektual mereka masing-masing.
3. Aktivitas dan Karya Bersama
Keterlibatan dalam Gerakan Sosial: Keduanya terlibat aktif dalam berbagai gerakan sosial dan politik, termasuk perlawanan terhadap kolonialisme, dukungan untuk gerakan buruh, dan advokasi hak-hak perempuan. Mereka sering bekerja sama dalam artikel, esai, dan aktivitas publik untuk memajukan tujuan-tujuan ini.
Pengaruh dalam Sastra dan Filsafat: Selain karya-karya filosofis, Simone dan Sartre juga menulis karya-karya sastra yang mencerminkan pandangan mereka tentang eksistensialisme dan kondisi manusia. Novel-novel de Beauvoir, seperti "The Mandarins" (1954), dan karya-karya drama Sartre, seperti "No Exit" (1944), menunjukkan interaksi kompleks antara kebebasan individu dan struktur sosial.
4. Dinamika Personal
Hubungan yang Rumit: Hubungan mereka sering kali rumit dan penuh tantangan, terutama karena gaya hidup dan hubungan non-monogami yang mereka jalani. Meskipun demikian, mereka tetap saling mendukung dan menghargai sepanjang hidup mereka.
Surat-Menyurat dan Memoar: Banyak surat-menyurat mereka telah dipublikasikan, memberikan wawasan tentang kedekatan mereka baik sebagai pasangan maupun rekan intelektual. Memoar de Beauvoir, seperti "Memoirs of a Dutiful Daughter" dan "The Prime of Life," juga menggambarkan hubungan mereka dengan detail yang kaya.
Filsafat Eksistensialisme dengan Konsep Feminis Melahirkan Feminisme
Eksistensialis
Melalui epistemologi Eksistensialis Jean Paul Sartre, terdapat dalil eksistensialisme yang
digunakan dalam konsep feminisme eksistensialis Simone de Beauvior. Pengaruh Jean-Paul
Sartre dalam pemikiran feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir adalah fundamental.
Dengan menerapkan konsep-konsep eksistensialis Sartre pada analisis gender, Simone
menciptakan kerangka teori yang mendalam untuk memahami dan melawan penindasan
perempuan. Hal ini dapat dilihat dari upaya pendefinisian perempuan sebagai liyan, Simone de
Beauvior dalam The Second Sex tidak terlepas dari kritik tentang data biologi, psikoanalisis, dan
materialism sejarah (Prameswari: 5). Simone juga mengkritik berbagai mitos tentang feminin
yang digunakan untuk membatasi dan mengendalikan perempuan, mengungkapkan bagaimana
mitos-mitos ini memperkuat ketidaksetaraan gender.
Adapun konsep utama eksistensialisme Sartre, sebagai berikut :
Eksistensi Mendahului Esensi: Salah satu prinsip utama eksistensialisme Sartre adalah
bahwa "eksistensi mendahului esensi". Artinya, manusia tidak memiliki esensi tetap atau sifat
dasar yang ditentukan sejak lahir; mereka menciptakan diri mereka sendiri melalui pilihan dan
tindakan. Simone menerapkan konsep ini pada analisis gender, menolak pandangan bahwa peran
dan identitas perempuan ditentukan oleh sifat biologis.
Kebebasan dan Pilihan: Sartre menekankan pentingnya kebebasan individu untuk
membuat pilihan yang menentukan esensi atau jati diri mereka. Simone mengadopsi pandangan
ini dan menekankan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan yang sama untuk menentukan
hidup mereka sendiri, bebas dari batasan-batasan yang dipaksakan oleh norma-norma sosial
patriarkal.
Kesimpulan
Simone de Beauvoir dan Jean-Paul Sartre adalah contoh dari bagaimana kolaborasi
intelektual yang erat dapat menghasilkan kontribusi besar bagi dunia pemikiran dan gerakan
sosial. Hubungan mereka, meskipun tidak konvensional, merupakan landasan bagi banyak
perkembangan dalam filsafat eksistensialis dan teori feminis.
Referensi :
Ramadhan, Syifa Maharani. 2024. “Eksistensi Tokoh Perempuan dalam Novel
Mustika Zakar Celeng Karya Adia Puja: Analisis Feminisme Eksistensialis”. Jurnal e-skripsi Universitas Andalas.
Prameswari, Ni Putu Laksmi Mutiara dkk. “Feminisme Eksistensialis Simone de
Beauvior : Perjuangan Perempuan di Ranah Domestik”. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Udayana.
Pranowo, Yogie. 2013. “Identitas Perempuan dalam Budaya Patriarkis : Sebuah
Kajian Tentang Feminisme Eksistensialis Nawal El Sa’adawi dalam Novel “Perempuan
di Titik Nol”. Jurnal Melintas 2. 201 [56-78].
Penulis: Aldo Ilham Ilahi
Posting Komentar