Digital detox: Jalan Keluar dari Paradoks Eksistensial di Era Digital


Manusia dikutuk untuk bebas; karena begitu dilemparkan ke dunia, ia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya.” (Jean-Paul Sartre, "Existentialism Is a Humanism")



lajurinfo.my.idRenungkan! Anda sedang berkumpul dengan keluarga, Anda sedang bermain dengan teman-teman, Anda sedang menyelesaikan tugas-tugas harian, tetapi tatapan Anda, perhatian Anda, tenaga Anda terparti ke sebuah layar kecil yang didalamnya terdapat berjuta-juta informasi, ia dikenal dengan handphone. Handphone merupakan sebuah teknologi paling mutakhir pada abad ini. Handphone membuat siapapun yang memilikinya dengan mudah mengakses apapun yang ia mau. Seperti membalikan telapak tangan, seseorang dengan mudahnya bisa berkomunikasi dengan teman yang berada jauh darinya. Ibarat telepati yang dapat memungkinkan komunikasi antara dua individu yang berjauhan, dengan handphone semua menjadi realistis untuk dilakukan (Vaterlaus et al. 2021).


Kebutuhan masyarakat terhadapnya bahkan menyamai dengan kebutuhan primer. Terdengar berlebihan, tapi nyatanya demikian. Seluruh aktivitas, bergantung kepadanya, bahkan untuk hal yang paling sederhana seperti menghidupkan AC bisa ia selesaikan. Data terakhir menunjukan lebih dari 2,8 miliar jiwa menjadi pengguna aktif dari handphone (Ratan et al. 2021). Handphone yang kecil itu, manfaatnya tak sekecil ukurannya. Si kecil itu memungkinkan penggunanya mengakses dunia dalam genggamannya dan dengan sekejap mata.


Si kecil itu selalu saja menyuguhkan kepada penggunaannya informasi paling up to date. Pemiliknya dengan mudahnya mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi satu menit lewat. Bahkan, informasi hangout rekan-rekannya pun bisa diketahui dengan mudahnya oleh ponsel kecil itu. Alhasil, notifikasi bermunculan dengan deras, bak air yang yang mengalir dengan keras. Penggunanya pun tertarik untuk ikut euforia, ia pun akhirnya mendigitalisasikan seluruh hidupnya dalam media sosial. Partisipasinya dalam euforia tersebut telah membuat ia terlena, eksistensinya terancam seketika. Seperti pusaran air yang menyedot siapa saja yang berada didekatnya. Ia abadikan seluruh hidupnya dalam media sosial dengan harap eksistensinya akan terlihat. Kini transformasi besar telah terjadi padanya. Kebahagiaan yang biasanya mudah didapatkan, kini ia gantungkan di tangan yang salah. Like and comment lah yang menjadi tujuan akhir dalam hidupnya, bahkan untuk bisa mendapatkannya pun ia bisa melakukan segalanya.


Ia sangka apa yang ia lakukan bernilai benar. Ia sangka eksisnya ia dalam dunia maya akan menjadikan popularitas instan dalam dunia nyata. Namun, realitanya tidak, apa yang ia lakukan tak menjadikannya eksis dalam dunia nyata. Bahkan lebih buruk lagi, apa yang ia lakukan telah merenggutnya dengan keras dari hakikat semestinya. Realitasnya telah bertransformasi dari realitas fisik (hidup dalam dunia) ke realitas non fisik (hidup di dunia maya). Alih-alih memperkuat identitas diri, hanyutnya ia dalam dunia maya justru membuat ia kehilangan identitas diri.


Hal tersebut seperti paradoks eksistensial, apa yang ia kira dapat membuat penggunanya eksis dalam dunia nyata, realitanya tidak, hal tersebut membuat penggunanya menghilang dari realitas sesungguhnya. Eksistensinya (keberadaannya) tak memberikan satupun manfaat bagi realitas, bahkan keberadaannya pun dipertanyakan apakah ada dalam realitas. Begitu juga dalam civitas akademika, terkhusus mahasiswa. Siswa yang bergelar “Maha” itu banyak yang terlarut dalam media sosial. Penggunaannya telah membuatnya addict, seperti opium yang bisa membuat ketergantungan bagi semua pengkonsumsinya. Ia lupa apa yang menjadi esensi dalam perkuliahannya, ia lupa akan kewajibannya, bahkan lebih buruk lagi, ia lupa jati dirinya. Hal tersebut seperti menempatkannya ke dalam lingkaran setan yang tak berkesudahan. Oleh karena itu, jalan keluar dari paradoks eksistensial yaitu Digital detox, lalu, what is Digital detox?


Digital detox

Digital detox merupakan daya upaya individu untuk melepaskan sejenak dari buaian media massa khususnya handphone (Schmuck 2020). Beberapa orang ada yang menggunakan istilah seperti abstinence (pantang) , break (istirahat ), disconnection (pemutusan hubungan ), detox (detoksifikasi ), timeout (waktu istirahat ), atau unplugging (melepaskan diri) dan istilah lainnya yang menunjukan melepaskan sejenak keterikatan dengan handphone (Radtke et al. 2021). Keypoint nya yakni melepaskan sejenak, bukan menghapusnya ataupun mendegradasinya. Konsep Digital detox ini layaknya orang yang sedang berpuasa (Radtke et al. 2021). Orang yang sedang berpuasa berusaha meninggalkan makan, minum dan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa untuk menahan segala sesuatu yang membatalkan puasa pada waktu yang telah ditetapkan. Demikian juga Digital detoks, penggunaannya hanya menahan menggunakan handphone hanya pada waktu ketika ia sedang melakukan aktivitas. Kecuali, aktivitas yang membutuhkan dan tidak bisa dilepaskan dari penggunaan handphone (Klass et al. 2024).



Digital detox bukan merupakan sifat ekstrimisme seperti menghapus aplikasi yang mendistraksi, atau yang lebih ekstrim yaitu tidak menggunakan handphone dalam kurun waktu yang lama. Ini hanya sekedar menciptakan batas yang sehat seperti mematikan notifikasi saat berkegiatan, menyimpan handphone saat sedang belajar, dan aktivitas lain yang bisa tetap berjalan tanpa adanya keterpengaruhan handphone (Syvertsen and Enli 2019). Hal tersebut harus dilakukan, agar penggunanya tetap fokus pada apa yang menjadi prioritasnya, tanpa perlu terdistraksi dengan hal yang semu (Muench et al. 2020).


Transformasi ke Realitas Sesungguhnya

Lantas mengapa hal ini sangat penting? Penelitian dari Nielsen Company menunjukan bahwa rata-rata orang bisa menghabiskan waktu 11 jam per hari dalam menggunakan handphone (Cherry 2023). Sungguh ironis, karena manusia hanya memiliki 24 jam dalam harinya dan itu belum terhitung waktu untuk istirahat. Lalu riset yang dilakukan itu menunjukan data kuantitatif yakni 43% responden menghabiskan waktunya hanya untuk mengecek apakah sudah ada notifikasi yang masuk ke handphonenya. Data yang jenaka sekali, waktu terbuang hanya untuk hal yang sia-sia (unfaedah). Memangnya penggunanya sedang memastikan apa ya…hingga data menunjukan presentase yang sangat mengejutkan. Hingga yang terakhir penelitian Yaoguo Geng membuktikan pemakaian handphone berkorelasi negatif terhadap depresi dan anxiety pada mahasiswa (Geng et al. 2021).




Sebagai agent of change yang bergelar Maha” itu, mahasiswa harus piawai untuk mengukuhkan posisinya dalam menentukan kemana ia akan melangkah, menentukan keputusannya, dan menentukan jati dirinya. Mahasiswa tidak dilarang menggunakan handphone, namun ia harus piawai menggunakannya, bak pemain sirkus yang sedang memainkan perannya.Terkesan sederhana, namun apalah daya. Mahasiswa harus bisa mengintegrasikan antar keduanya, antara realitas yang sedang khidmat ia selami (dunia nyata) dan realitas semu (dunia maya), karena mengintegrasikan keduanya akan menjadikannya sempurna.



Begitu juga seperti pemikiran Amin Abdullah mengenai Integrasi ilmu pengetahuan (integration-interconnection), ia mengatakan perlu adanya integrasi ilmu agar lintas ilmu saling menutupi kekurangan (Dasrizal, Suhail, and Pradipta 2024). Begitu juga mahasiswa, perlu mengintegrasikan antara aktivitas sesungguhnya dengan aktivitas media maya. Perlu memadukan antara keduanya. Semua ini dilakukan agar mahasiswa tidak kehilangan eksistensi di tengah realitas sesungguhnya. Dan yang seharusnya terjadi, mahasiswa harus bisa bertransformasi melampaui realitas yang sesungguhnya. Memberi dampak bagi realitas sekarang, hingga namanya dielu-elukan dalam ketiadaannya.


Step by Step Digital Detox

1. Menciptakan Zona Bebas Teknologi

    Penggunanya bisa menentukan ruang atau zona dimana penggunaan handphone dilarang. Misalnya,        tidak menggunakan handphone selama makan, belajar, atau berkumpul dengan keluarga.

2. Mengelola Notifikasi

    Matikan notifikasi yang tidak penting untuk mengurangi distraksi. Khususnya grup whatsapp yang         tidak begitu penting.

3. Mengatur Waktu Layar

    Tetapkan batas waktu harian untuk menggunakan handphone. Seperti mengatur ulang sistem default      di pengaturan atau menggunakan aplikasi yang menawarkan fitur untuk memantau durasi penggunaan     perangkat.

4. Mengganti Kebiasaan Digital dengan Aktivitas Lain

    Alihkan waktu yang biasa dihabiskan di dunia maya dengan kegiatan yang lebih bermakna, seperti        membaca buku, berolahraga, atau berdiskusi dengan teman.

5. Refleksi dan Evaluasi

   Lihatlah berapa lama Anda menggunakan handphone. Lalu. lakukan refleksi dan evaluasi secara           berkala.


Akhir Kata

Dengan demikian jalan keluar dari Paradoks Eksistensial yaitu Digital Detox. Dengan mengusahakan diri agar tidak terikat dengan handphone penggunanya bisa lebih peka dengan realitas di sekelilingnya. Dengan Digital Detox, penggunaannya dapat melepaskan candu buruk dari handphone. Karena pada akhirnya, eksistensi sejati bukan tentang seberapa "terlihat" kita di media sosial, melainkan tentang seberapa bermakna kita hadir dalam realitas yang kita jalani.



References

Cherry, Kendra. 2023. “How to Do a Digital Detox: And Why You Should Try It.” Verywellmind.Com. 2023. https://www.verywellmind.com/why-and-how-to-do-a-digital- detox-4771321.

Dasrizal, Budiman, Muhammad Suhail, and Raihan Pradipta. 2024. “Integrative Knowledge and Contemporary Issues: Evaluating Amin Abdullah’s Paradigm of Multidisciplinarity.” Islamic Thought Review 2, no. 1: 48–59. https://doi.org/https://doi.org/10.30983/itr.v2i1.8408.

Geng, Yaoguo, Jingjing Gu, Jing Wang, and Ruiping Zhang. 2021. “Smartphone Addiction and Depression, Anxiety: The Role of Bedtime Procrastination and Self-Control.” Journal of Affective Disorders 293: 415–21. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.jad.2021.06.062.

Klass, Perri, Alan L Mendelsohn, John S Hutton, Marny Dunlap, Ashaunta T Anderson, Pamela C High, Dipesh Navsaria, and Council on Early Childhood. 2024. “Literacy Promotion: An Essential Component of Primary Care Pediatric Practice: Technical Report.” Pediatrics. https://doi.org/https://doi.org/10.1542/peds.2024-069090.

Muench, Catharina, Lena Feulner, Ricardo Muench, and Astrid Carolus. 2020. “Time to Log Off BT - HCI International 2020 - Posters.” In , edited by Constantine Stephanidis and Margherita Antona, 209–16. Cham: Springer International Publishing.

Radtke, Theda, Theresa Apel, Konstantin Schenkel, Jan Keller, and Eike von Lindern. 2021. “Digital Detox: An Effective Solution in the Smartphone Era? A Systematic Literature Review.” Mobile Media & Communication 10, no. 2 (July): 190–215. https://doi.org/10.1177/20501579211028647.

Ratan, Zubair Ahmed, Anne-Maree Parrish, Sojib Bin Zaman, Mohammad Saud Alotaibi, and Hassan Hosseinzadeh. 2021. “Smartphone Addiction and Associated Health Outcomes in Adult Populations: A Systematic Review.” International Journal of Environmental Research and Public Health 18, no. 22: 12257.

Schmuck, Desirée. 2020. “Does Digital Detox Work? Exploring the Role of Digital Detox Applications for Problematic Smartphone Use and Well-Being of Young Adults Using Multigroup Analysis.” Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking 23, no. 8 (April): 526–32. https://doi.org/10.1089/cyber.2019.0578.

Syvertsen, Trine, and Gunn Enli. 2019. “Digital Detox: Media Resistance and the Promise of Authenticity.”                                 Convergence           26,           no.           5–6           (May):           1269–83. https://doi.org/10.1177/1354856519847325.

Vaterlaus, J Mitchell, Alexandra Aylward, Dawn Tarabochia, and Jillian D Martin. 2021. “‘A Smartphone Made         My Life Easier’: An Exploratory Study on Age of Adolescent Smartphone Acquisition and Well-Being.”            Computers in Human Behavior 114: 106563. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.chb.2020.106563.





Penulis: Budiman Dasrizal 


Post a Comment